fiqh kontemporer
A.
KEDUDUKAN
ANAK LUAR NIKAH
Semua
madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat
bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti
dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang
menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak
dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini,
sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.
Jadi anak itu tidak berbapak.[1] Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak
itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan).” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)
Firasy
adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli
suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan
firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya.
Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada pemilik
firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan
kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.[2]
Dikatakan
di dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang
wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si
wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya,
berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” (HR: Al Bukhari dan Muslim)
Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak akan
mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka
dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar nikah tidak dapat
memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. "Syariat Islam
mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya,"
kata Ketua MUI Maruf Amin saat dihubungi Tempo, Selasa, 27 Maret 2012.[3]
MUI
sudah melakukan kajian sesuai syariat Islam dan itu lah hasilnya,"
ujarnya. Dari hasil kajian tersebut kemudian dikeluarkan fatwa MUI tentang
kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan terhadapnya. Inti fatwa Nomor 11
yang ditetapkan 10 Maret 2012 itu, kata Maruf, bahwa anak hasil zina tidak
punya hubungan nasab dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
B. BAYI TABUNG
Tulisan tentang
bayi tabung ini dimaksudkan untuk sekedar memberikan informasi kepada
masyarakat terutama ummat islam tidak hanya ikut-ikutan (taqlid) tanpa
mengetahui dasar hokum persoalannya. Sebab ikut-ikutan itu dilarang oleh agama
islam, sebagai mana firman Alloh S.W.T dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 36 :
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
"dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya".
Ada beberapa
tekhnik inseminasi buatan yang telah dikembangkan di dunia kedokteran, yaitu :
1.
Fertilitation in Vitro (FIV), dengan cara
mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro(tabung) dan
setelah terjadi pembuahan lalu ditransfer di rahim istri
2.
Gamet
intra Felepian Tuba (GIFT), dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri,
dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam disaluran
telur (tuba falupi)
Teknik
kedua ini lebih alamiah dari pada teknik yang pertama, sebab sperma hanya bias
membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi (pancaran mani) melalui
hubungan seksual.[4]
Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu pasangan suami isteri
(pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin mendapatkan keturunan. Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung akhirnya menuai pro dan
kontra dari sejumlah pihak. Khususnya reaksi dari para alim ulama yang
mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung
jika dinilai dari sudut agama.
Berdasarkan
fatwa MUI, hukum bayi tabung
sah (diperbolehkan) dengan syarat sperma dan ovum yang digunakan berasal dari
pasutri yang sah. Sebab hal itu termasuk dalam ranah ikhtiar (usaha) yang
berdasarkan kaidah-kaidah agama.
MUI juga
menegaskan, hukum bayi tabung
menjadi haram jika hasil pembuahan sperma dan sel telur pasutri dititipkan di
rahim wanita lain. Demikian pula ketika menggunakan sperma yang telah dibekukan
dari suami yang telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan ovum yang
bukan berasal dari pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung
dalam hal ini juga haram.[5]
C. KLONING
Kloning (klonasi) adalah teknik membuat
keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup
tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia.
Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan
dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh
manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan
pada sel telur (ovum) wanita –yang telah dihilangkan inti selnya– dengan suatu
metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi buatan. Dengan
metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel
dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari
seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus
listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini
terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke
dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang,
berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang
dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik
sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah
ditanamkan pada sel telur perempuan.
Pembuahan dan inseminasi buatan dalam proses
kloning manusia terjadi pada sel-sel tubuh manusia (sel somatik), bukan sel-sel
kelaminnya. Seperti diketahui, dalam tubuh manusia terdapat milyaran bahkan
trilyunan sel. Dalam setiap sel terdapat 46 kromosom (materi genetik yang
mengandung seluruh sifat yang diturunkan pada manusia), kecuali sel-sel kelamin
yang terdapat dalam buah zakar (testis) laki-laki dan dalam indung telur
(ovary) perempuan. Sel-sel kelamin ini mengandung 23 kromosom, yaitu setengah
dari jumlah kromosom pada sel-sel tubuh.
Kloning yang dilakukan pada laki-laki atau
perempuan –baik yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas keturunan dengan
menghasilkan keturunan yang lebih cerdas, lebih kuat, lebih sehat, dan lebih
rupawan, maupun yang bertujuan untuk memperbanyak keturunan guna meningkatkan
jumlah penduduk suatu bangsa agar bangsa atau negara itu lebih kuat– seandainya
benar-benar terwujud, maka sungguh akan menjadi bencana dan biang kerusakan
bagi dunia. Kloning ini haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan.
Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai berikut :
1. Anak-anak produk proses kloning tersebut
dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara alami itulah yang
telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah
untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah SWT berfirman :
¼çm¯Rr&ur t,n=y{ Èû÷üy_÷r¨9$# tx.©%!$# 4Ós\RW{$#ur ÇÍÎÈ `ÏB >pxÿôÜR #sÎ) 4Óo_ôJè? ÇÍÏÈ
“dan Bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.”
(QS. An Najm : 45-46)
Allah SWT berfirman :
óOs9r& à7t ZpxÿôÜçR `ÏiB %cÓÍ_¨B 4Óo_ôJã ÇÌÐÈ §NèO tb%x. Zps)n=tæ t,n=yÜsù 3§q|¡sù ÇÌÑÈ
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu
Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
2. Anak-anak produk kloning dari perempuan saja
(tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. Dan anak produk kloning
tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur –yang telah
digabungkan dengan inti sel tubuh– ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik
sel telur, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi
tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini
merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab dalam kondisi ini tidak terdapat
ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur .
“Hai
manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan.” (QS. Al Hujuraat : 13)
Hal ini juga bertentangan dengan firman-Nya :
öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky u.
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al Ahzaab : 5)
3. Kloning manusia akan menghilang nasab (garis
keturunan).
Kloning yang bertujuan memproduksi
manusia-manusia yang unggul –dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan,
kerupawanan– jelas mengharuskan seleksi terhadap para laki-laki dan perempuan
yang mempunyai sifat-sifat unggul tersebut, tanpa mempertimbangkan apakah mereka
suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Dengan demikian sel-sel
tubuh akan diambil dari laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat
yang diinginkan, dan sel-sel telur juga akan diambil dari perempuan-perempuan
terpilih, serta diletakkan pada rahim perempuan terpilih pula, yang mempunyai
sifat-sifat keunggulan. Semua ini akan mengakibatkan hilangnya nasab dan
bercampur aduknya nasab.
4. Memproduksi anak melalui proses kloning akan
mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’, seperti hukum tentang
perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris,
perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan lain-lain. Di
samping itu kloning akan mencampur adukkan dan menghilangkan nasab serta
menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah
kelahiran anak. Kloning manusia sungguh merupakan perbuatan keji yang akan
dapat menjungkir balikkan struktur kehidupan masyarakat.Berdasarkan dalil-dalil
itulah proses kloning manusia diharamkan menurut hukum Islam dan tidak boleh
dilaksanakan. Allah SWT berfirman mengenai perkataan Iblis terkutuk, yang
mengatakan :“…dan akan aku (Iblis) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka mengubahnya.” (QS. An Nisaa’ : 119)
Yang dimaksud dengan ciptaan Allah (khalqullah)
dalam ayat tersebut adalah suatu fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk
manusia. Dan fitrah dalam kelahiran dan berkembang biak pada manusia adalah
dengan adanya laki-laki dan perempuan, serta melalui jalan pembuahan sel sperma
laki-laki pada sel telur perempuan. Sementara itu Allah SWT telah menetapkan
bahwa proses pembuahan tersebut wajib terjadi antara seorang laki-laki dan
perempuan yang diikat dengan akad nikah yang sah.
Dengan demikian kelahiran dan perkembangbiakan anak
melalui kloning bukanlah termasuk fitrah. Apalagi kalau prosesnya terjadi
antara laki-laki dan perempuan yang tidak diikat dengan akad nikah yang sah.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Kabir, Asy Syarhul. Taisiril Fiqh 2/828..Al Mabsuth 17/154, 3/412, Al
Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338,
Ar Raudlah 6/44.
[1] Asy Syarhul Kabir, Al Mabsuth 17/154, 3/412,
Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal : 338, Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh
2/828.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar